Sunday, June 29, 2008

Impian Seorang Mahasiswi

Hari pertama kuliah di kampus, profesor memperkenalkan diri dan
menantang kami untuk berkenalan dengan seseorang yang belum kami kenal.
Saya berdiri dan melihat sekeliling ketika sebuah tangan lembut
menyentuh bahu saya.
Saya menengok dan mendapati seorang wanita tua, kecil, dan berkeriput,
memandang dengan wajah yang berseri-seri dengan senyum yang cerah.
Ia menyapa, "Halo anak cakep. Namaku Rose.
Aku berusia delapan puluh tujuh. Maukah kamu memelukku?"
Saya tertawa dan dengan antusias menyambutnya, "Tentu saja boleh!".
Dia pun memberi saya pelukan yang sangat erat.
"Mengapa kamu ada di kampus pada usia yang masih begitu muda dan tak
berdosa seperti ini?" tanya saya berolok-olok.
Dengan bercanda dia menjawab, "Saya di sini untuk menemukan suami yang
kaya, menikah, mempunyai beberapa anak, kemudian pensiun dan bepergian."
"Ah yang serius?" pinta saya. Saya sangat ingin tahu apa yang telah
memotivasinya untuk mengambil tantangan ini di usianya.
"Saya selalu bermimpi untuk mendapatkan pendidikan tinggi dan kini saya
sedang mengambilnya!" katanya.
Setelah jam kuliah usai, kami berjalan menuju kantor senat mahasiswa dan
berbagi segelas chocolate milkshake. Kami segera akrab.
Dalam tiga bulan kemudian, setiap hari kami pulang bersama-sama dan
bercakap-cakap tiada henti. Saya selalu terpesona mendengarkannya
berbagi pengalaman dan kebijaksanaannya. Setelah setahun berlalu, Rose
menjadi bintang kampus dan dengan mudah dia berkawan dengan siapapun.
Dia suka berdandan dan segera mendapatkan perhatian dari para mahasiswa
lain. Dia pandai sekali menghidupkan suasana.

Pada akhir semester kami mengundang Rose untuk berbicara di acara makan
malam klub sepak bola kami.
Saya tidak akan pernah lupa apa yang diajarkannya pada kami.
Dia diperkenalkan dan naik ke podium.
Begitu dia mulai menyampaikan pidato yang telah dipersiapkannya, tiga
dari lima kartu pidatonya terjatuh ke lantai.
Dengan gugup dan sedikit malu dia bercanda lewat mikrofon,dengan ringan
ia berkata, "Maafkan saya sangat gugup. Saya sudah tidak minum bir.
Tetapi wiski ini membunuh saya. Saya tidak bisa menyusun pidato saya
kembali, maka ijinkan saya menyampaikan apa yang saya tahu."

"Kita tidak pernah berhenti bermain karena kita tua.
Kita menjadi tua karena berhenti bermain. Hanya ada empat rahasia untuk
tetap awet muda, tetap menemukan humor setiap hari.
Kamu harus mempunyai mimpi. Bila kamu kehilangan mimpi-mimpimu,
kamu terasa seperti mati. Ada banyak sekali orang yang berjalan di
sekitar kita yang mati namun mereka tak menyadarinya."
"Sungguh jauh berbeda antara menjadi tua dan menjadi dewasa.
Bila kamu berumur sembilan belas tahun dan berbaring di tempat tidur
selama satu tahun penuh, tidak melakukan apa-apa, kamu tetap akan
berubah menjadi dua puluh tahun. Bila saya berusia delapan puluh tujuh
tahun dan tinggal di tempat tidur selama satu tahun, tidak melakukan
apapun, saya tetap akan menjadi delapan puluh delapan. Setiap orang
pasti menjadi tua. Itu tidak membutuhkan suatu keahlian atau bakat.
Tumbuhlah dewasa dengan selalu mencari kesempatan dalam perubahan."
"Jangan pernah menyesal. Orang-orang tua seperti kami biasanya tidak
menyesali apa yang telah diperbuatnya, tetapi lebih menyesali apa yang
tidak kami perbuat.
Orang-orang yang takut mati adalah mereka yg hidup dengan penyesalan."
Rose mengakhiri pidatonya dengan bernyanyi "The Rose".
Dia menantang setiap orang untuk mempelajari liriknya dan menghidupkan-
nya dalam kehidupan sehari-hari.

Akhirnya Rose meraih gelar sarjana yang telah diupayakannya sejak
beberapa tahun lalu. Seminggu setelah wisuda, Rose meninggal dunia.
Lebih dari dua ribu mahasiswa menghadiri upacara pemakamannya sebagai
penghormatan pada wanita luar biasa yang mengajari kami dengan
memberikan teladan bahwa tidak ada yg terlambat untuk apapun yang bisa
kau lakukan.

Ingatlah, menjadi tua adalah kemestian, tetapi menjadi dewasa adalah
pilihan.

0 kicks: